Tuesday 17 January 2012

PELANGI TERAKHIR



 Alya berjalan tergesa-gesa tanpa peduli kalau aku masih belum mengerti apa yang dia maksud. Kami berdua melewati lorong rumah sakit yang penuh hiruk pikuk kesibukan. Alya tidak menoleh sama sekali, dia bahkan tak melirik ketika ada mayat berpapasan dengannya. Aku semakin penasaran dengan apa yang mau dia tunjukkan padaku di tempat ini.

Dini hari, setelah sholat tahajud, aku tanpa sengaja menjatuhkan mug hingga pecah. Perasaan aneh langsung membuatku merinding. Aku menatap terpaku pada benda itu dengan perasaan bingung. Mug itu sudah lama berada di meja tapi tak pernah kupakai lagi. Aku juga sudah hampir lupa dengan keberadaannya. Tapi kenapa dia menunjukkan dirinya padaku sekarang.?

Saat itulah Alya menelepon. Aku bertanya-tanya, ada apa anak ini mencariku malam-malam begini. Tapi yang  kudapat bukanlah jawaban, melainkan pertanyaan lagi. Dia membawaku ke rumah sakit tapi tidak menjelaskan apa yang mau dia perlihatkan.

Dia membawaku ke ruangan yang agak jauh di belakang. Begitu melihat siapa yang berada di dalam jantungku seperti terhenti sejenak. Langkahku juga terhenti. Ruangan putih itu tiba-tiba menjadi angker. Kakiku menjadi sangat berat untuk mengikuti Alya masuk ke dalam.

"Ayo masuk!" kata Alya sambil menoleh ke arahku. Aku ragu.

Dua orang yang berada di dalam situ serentak menoleh. Mataku bertemu pandang dengan laki-laki yang berdiri di dekat tempat tidur. Namanya Deva. Aku pernah bertemu sekali dengannya, tapi tatapan matanya tidak sedingin ini.

" Andri? " kata seseorang menyentakkan kami berdua. Aku menoleh ke gadis yang duduk di atas tempat tidur. 

"Wuah, dia benar-benar mengenalimu.!" Alya terlonjak girang, tapi aku masih bingung.

Pertanyaan lebih aneh masuk ke otakku. "mengenali???" bukankah gadis itu Lita? Bukankah kami teman kuliah juga.? Bagaimana mungkin dia tidak mengenaliku.?

Belum sempat kuajukan pertanyaan, Deva menyeruak di antara kami dan keluar dengan ekspresi luar biasa dingin. Aura buruknya bahkan masih terasa saat aku menatap punggungnya ketika dia berlalu. Alya juga tiba-tiba bisu akibat Deva. Mata gadis itu hanya melirik ke sepatunya.

Aku beralih ke Lita. Dia kelihatan bingung, yang dia lakukan hanya terpaku menatapku. Mau tak mau aku terpaksa menatap ke dalam kedua bola matanya.  Aku terpaksa menatap kedua mata yang di dalamnya ada ekspresi sedih. Ini menyesakkkanku, apalagi ketika mata itu menjatuhkan air mata.

" Andri, dia baru bangun setelah tiga hari koma. Ngga satupun orang yang dia kenali, termasuk Deva. Tapi begitu dokter menanyakan siapa yang kira-kira terpikir di kepalanya, dia menyebutkan namamu." kata Alya setengah berbisik.

Namaku?

Aku menoleh ke Alya. Tentu saja dengan muka kaget. "maksudmu apa?" tanyaku.

"Siapa tahu setelah ketemu kamu ingatannya cepat kembali. Setelah kecelakaan dia ngga kenal siapa-siapa. Deva aja kesulitan, dia ngga mau ngomong sama siapapun."

Kepalaku seperti tertimpa sesuatu yang berat. Otakku tiba-tiba macet, padahal aku perlukan untuk berpikir. 

Sementara itu, di depanku duduk Lita yang mengusap-usap air matanya dengan wajah polos. Wajahnya kelihatan bingung juga. Dia ragu melirik ke arahku, tapi sekali berhasil melihat, air matanya pasti jatuh lagi. Walaupun aku tidak benar-benar tahu apa yang membuatnya seperti itu, aku ikut sedih melihatnya.

Ingatanku mendadak ditarik jauh ke belakang. Aku sama sekali tidak menginginkan ini. Badanku tergerak melihat air mata gadis itu. Tanpa sadar, aku sudah di dekatnya dan mengusap air mata yang membasahi pipinya. Saat itu juga gadis itu tersenyum sambil menutup mata. Tangannya menahan tanganku agar tetap di pipinya.

“ Aku benar-benar meridukanmu.” Katanya lirih.

****
2 tahun yang lalu...

“Kita memang ngga akan mungkin bareng, tapi mungkin aku akan tetap menyukaimu.” kata Lita sambil tersenyum. Mendengar perkataannya aku hanya menghela nafas. Bibirnya boleh tersenyum, tapi aku tahu betul apa yang ada di hatinya hanya melihat sekilas ke arah matanya.

“Kita beda agama. Aku tidak bisa memaksamu dan kamu juga tidak bisa memaksaku. Tidak akan ada gunanya, akan jadi apa nantinya kita kalau tetap seperti ini. Lagipula kamu sudah punya Deva. Aku yakin kamu bisa bahagia dengan dia. Lupakanlah, anggap saja kamu tidak pernah bertemu denganku.”
“ Aku mengerti. Kamu tidak perlu menjelaskan hal yang sama terus-menerus.”

Dia menunduk, menghindar dari pandangan mataku. Agak lama terdiam, kemudian dia menoleh ke arah pelangi yang sebenarnya sudah sedari tadi berada di sana. Gadis itu membalik badan, pura-pura menikmati indahnya peristiwa dispersi cahaya di depan matanya.

Melihatnya, menebak semua yang dia pikirkan dan rasakan membuatku semakin tidak sanggup berada di tempat ini. Akupun membalik badan. Aku langkahkan kakiku pelan-pelan karena terasa sangat berat. Beberapa kali godaan untuk melihat keadaan gadis itu muncul, tapi aku sudah membulatkan tekad untuk tidak melihat ke belakang lagi. Aku berusaha keras menanamkan perintah di benakku. Pergi secepatnya! Pergi secepatnya! Jangan sampai aku melihatnya menangis lagi!

****
Hal rutin yang aku lakukan 2 hari ini adalah menjenguk Lita. Kemarin aku bahkan kembali ke rumah sakit jam 10 malam padahal aku baru meninggalkan tempat itu jam 9 malam tadinya hanya untuk memastikan dia tidak apa-apa. Aku benar-benar kawatir setelah melihat Deva yang agak menggila. Deva bahkan sempat melempar vas bunga ke lantai dengan penuh emosi. Aku tidak tahu kenapa orang sesabar dia bisa menjadi seganas itu. Hari itu hanya sejenak kutinggalkan mereka, tapi suara vas pecah langsung masuk ke telinga ketika aku kembali. Aku spontan berlari melindungi Lita dan tidak berani meninggalkan dia tanpa pengawasan lagi.

Semakin ku menyayangimu, semakin ku harus melepasmu dari hidupku. Tak ingin lukai hatimu lebih dari ini. Kita tak mungkin terus bersama...

Aku memetik gitar sambil menyanyikan reff  salah satu lagu yang paling sering didengarkan Lita. Di atas kursi roda itu, dia hanya mendengarkan dengan polos tanpa bicara sepatah kata pun. Aku jadi ragu. Jangan-jangan lagu ini tidak berguna juga. Aku langsung berhenti memainkannya.

Lita agak terkejut melihatku berhenti. Matanya agak melebar seakan mau bertanya.

Aku tidak menjawab keingintahuannya. Aku hanya meletakkan gitar lalu mendekatinya. Gadis itu terlihat benar-benar polos, tidak berkata apapun dan hanya memperlihatkan ekspresi wajah jika mengungkapkan sesuatu. Ini membuatku semakin sedih saja. Sambil menatap wajahnya aku membelai rambut Lita dengan berbagai harapan yang muncul di hatiku.

Gadis itu tiba-tiba menoleh ke arah lain.sepertinya ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Aku turut melihat ke arah itu. Rupanya ada pelangi yang muncul di balik jendela. Begitu jelas dan terlihat begitu dekat.

“ Kamu suka ? pelanginya bagus.” Tanyaku.

“ Aku tidak suka. Aku benci pelangi.”

Aku tertegun mendengar jawaban Lita. Kulihat raut muram di wajah gadis itu. Hatiku terasa ikut sakit. Tapi aku tidak mampu berkata sepatah katapun.

“Andri, kamu sebenarnya pacaran dengan Alya kan?” tiba-tiba Lita bertanya. Aku agak kaget. “Kenapa kalian menyembunyikannya? Apa kamu takut aku akan tahu?”

Aku membisu sejenak. 

“ Sejak kapan?? Sejak kapan sebenarnya kamu sudah ingat semuanya?” tanyaku curiga

“ Aku juga tidak tahu, semuanya tiba-tiba muncul dan tiba-tiba menghilang.” Katanya sambil menghela nafas.

“ Aku sendiri tidak mengerti dengan apa yang berputar-putar di kepalaku. Tapi sekarang sepertinya aku hampir ingat semuanya. Tapi entah kenapa semuanya jadi terasa tidak menyenangkan. Aku lelah.”

Aku menatap lurus ke dalam matanya, dia hanya membalas dengan pandangan sayu. Wajah gadis itu pucat seakan tak ada darah yang mengalir di wajahnya. Aku agak bersyukur dia kembali mengingat, tapi aku agak khawatir, apa yang dia pikirkan setelah semua ingatannya kembali.

“ Kenapa kamu bisa tahu? “ tanyaku.

“ Aku tidak ingat persis. Hanya saja aku capek memikirkannya. Aku tidak mau berpikir lebih jauh. Bisakah kamu menemaniku hari ini aja? Setelah itu kamu boleh kemanapun yang kamu suka.”

“Aku akan temani kamu sampai sehat.”

Lita tersenyum. Dia menutup matanya perlahan. Badannya melemah. Gadis itu seakan mau jatuh dari kursi. Aku spontan memegang kedua pundaknya. Dia seperti kehilangan seluruh tenaganya. Aku segera membopongnya ke tempat tidur. Dia susah payah membuka mata, melirikku lemah.

“ Jangan kebanyakan mikir, nanti kamu tambah sakit.” Kataku sambil merebahkan dia di atas tempat tidur.

“Pantas saja Alya tidak pernah mau mengenalkan pacarnya. Rupanya dia takut mengenalkan padaku. Katakan padanya kalau aku tidak apa-apa. Aku tidak akan membenci kalian karena hal itu.”

“Jangan bicara lagi. Istirahat aja.”

“Deva benar-benar membenciku setelah aku ceritakan apa yang sebenarnya kurasakan. Tapi wajar, selama ini aku membohonginya terus, sampaikan maafku padanya ya! Meskipun pacaran dengannya aku tidak pernah memikirkannya. Mungkin aku hanya salut karena dia benar-benar mencintaiku.” Lita terus bicara dengan suara lemah. Di sudut matanya air mata sudah mulai muncul. Aku hanya bisa mendengarkan. Mungkin ini bisa berarti baik, karena selama ini dia tidak pernah bicara sama sekali. Tapi hatiku sakit mendengar tiap kata yang dia ucapkan.

“Aku masih mencintaimu. Kalau kamu menunggu sampai aku benar-benar melupakanmu, itu lama. Lebih baik kamu cari kebahagiaanmu sendiri tanpa perlu peduli padaku.” Dia masih belum berhenti bicara dan aku mendengarkan. Sesekali kuhapus air mata di wajahnya sementara dia tidak henti-hentinya bercerita, padahal suaranya seperti muncul dan tenggelam.

“Aku capek...” akhirnya dia berhenti. Matanya menatap langit-langit kamar kemudian menutup perlahan. Aku membelai rambutnya dan membiarkan dia tertidur. Dia mengambil nafas panjang kemudian terlelap.
Tapi ada hal yang aneh terjadi. Setelah hembusan nafas panjangnya yang tadi, dia tidak terlihat bernafas lagi. Aku menggenggam tangannya erat, tapi tangannya mendadak dingin, tidak terasa kehangatan sedikitpun. Denyut nadinya menghilang.

Seketika itu pula tanganku menjadi gemetar. Aku masih belum percaya dengan apa yang aku lihat. Aku bahkan tidak berpikir untuk memanggil dokter. Aku masih mengguncang-guncangkan sedikit badan gadis itu agar dia terbangun.

“Lita, bangun sebentar. Kamu menakutiku... ayo bangun.”

Tapi dia tidak bergeming. Aku hampir kehilangan kewarasan.

“Kalau kamu bangun, aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku bersumpah! Aku tidak akan sampai hati membuatmu seperti ini lagi. Ayo bangun!” kataku setengah berteriak. Tapi dia masih tidak bergeming. 

Dan sejak saat itu dia tidak pernah menjawab panggilanku lagi, berapa kalipun aku memanggil dan berusaha membangunkannya.

****

“Kita tidak boleh menangisi orang yang meninggal. Kalo kamu menangisinya, nanti dia tidak bisa tenang pergi ke alam sana. Akupun kalau nanti meninggal, tidak mau ada yang menangisiku.” Kata-kata itu muncul terus di kepalaku. Itu diucapkan Lita saat kami masih di kampus dulu. Entah kenapa sekarang muncul lagi.

Aku melirik ke arah mug pecah yang belum aku bersihkan sampai saat ini. Di situ ada sebuah kertas berwarna biru mencolok yang terlipat. Aku mengambil benda itu dan membukanya. Di dalamnya tertulis :

Akan ada orang yang akan selalu menyayangimu sampai nafasnya terhenti. Hiduplah dengan indah, senyummu adalah senyumku, jadi tersenyumlah.
Kelak juga akan ada wanita yang akan menemanimu sampai akhir hidupmu, meskipun mungkin bukan aku. *Lita”  (iptek_Neitra)

1 comment:

Untuk kemajuan blog ini, kami akan sangat berterima kasih jika anda memberikan komentar

Kategori Post

Aircraft (1) akselerograf terbaru amg (1) aktivitas pengamatan (2) aktivitas pengamatan awan (1) AMG (2) AMG 2011/2012 (1) angin (1) angkatan 2009 (1) Astronomi (1) awan (1) awan konvektif (2) badai guntur (1) badai matahari (1) Base Cloud (1) Bayong Tjasyono (1) Berita Synop Awan (1) bhakti sosial (1) BMKG (1) Boing Boing (1) Bulan kedua (1) catasthrophists vs. uniformists (1) cerpen (1) continous rain (1) cuaca (6) curah hujan (1) Dharma Wanita Persatuan BMKG (1) down draft (1) drizzle (1) Dunia (1) Ekinoks (1) Elektrometeor (1) endapan (1) endapan beku (1) english corner (2) fenomena cuaca (1) fisika atmosfer (1) fixists vs mobilists (1) fog (1) Fotometeor (1) free download (1) freezing drizzle (1) Funnel Cloud (1) Geokontroversi (1) Geologi (2) gerak semu matahari (1) Gerak Udara (1) GPS (2) gumpalan es (1) gusty (1) Hail (1) hari kulminasi matahari (1) hari ozon (1) Hari Tanpa Bayangan (1) haze (1) High Cloud (1) hujan (2) humor (1) hydrometeor (2) idiom (1) ikan salmon (1) iklim (1) Info Iptek AMG (6) Info Iptek Dunia (8) info lomba (3) Info meteorologi (5) Inspirasi (1) intensitas thunderstorm (1) intermitten rain (1) Iptek Amg Online (5) iptek dan jurnalistik (2) jaringan observasi sinoptik (1) jenis hujan (1) jenis thunderstorm (1) Kasubbag Administrasi Akademik dan Ketarunaan (1) keadaan cuaca (1) keadaan tanah (1) kelembaban udara (1) kimia (1) kimia atmosfer (1) kisah penempatan (1) kura-kura (1) LAPAN (4) laut (1) lingkup pengamatan (1) lokasi thunderstorm (1) Low Cloud (1) Ltometeor (1) Massa Udara (1) medan magnet (1) Medium Cloud (1) mengenal lebih dekat (1) meteorologi (12) meteorological observation network (1) mist (1) mop papua (1) motivation story (1) neptunists vs. plutonists (1) observasi cuaca (1) observasi sinoptik meteorologi (7) observasi synop dekat permukaan (1) observasi synop jauh dari permukaan (1) observasi synop permukaan (1) ospek (1) ospek dan madabintal (1) Output Pengamatan Awan (1) ozon (1) past weather (1) pelangi (1) pembentukan thunderstorm (1) Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim (4) Penempatan Tugas (1) pengabdian (1) pengalaman (1) Pengamatan awan (2) Pengamatan cuaca (3) pengamatan observasi sinoptik (3) pengamatan sinopik (2) pengamatan synop (1) Pengertian awan (1) pengertian pengamatan (1) pengertian thunderstorm (1) penguapan (1) Pengumuman (1) penyematan (1) penyinaran matahari (1) peristiwa alam (1) Pertumbuhan Awan (1) peta magnetik (1) prec in sight (1) present weather (1) Profil (6) profil taruna (1) puisi (1) radiasi matahari (1) rain (1) reaksi kimia (1) Sains (1) sains atmosfer dan iklim (4) Satelit (1) satelit temporer (3) sekilas kampus (1) semangat (1) sensor magnet (2) Ship (1) shower rain (1) skala beaufort (1) smoke (1) Squall (1) stasiun pengamatan meteorologi (1) story (1) Suhu Awan (1) suhu udara (1) Surface (1) Taruna AMG (1) tekanan udara (1) thunderstorm (1) tornado (1) Troposfer (1) tugas akhir (1) tugas observer (1) turbulence (1) unsur cuaca (1) unsur-unsur meteorologi (1) violent (1) visibility (1) waktu pengamatan sinoptik (1) water spout (1) weather (2) wind shear (1) WMO (2) Wujud awan (1) young Earth vs. old Earth (1)